Berulangkali banjir melanda Jakarta. Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berdalih itu karena 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Artinya karena rendah, maka air laut masuk dan menggenangi wilayah tersebut.
Tapi dari Peta Banjir Jakarta yang dimuat di Tempo, hal itu tidak benar. Struktur tanah di Jakarta makin ke selatan (ke arah Bogor) permukaan tanah makin tinggi. Makin ke utara (ke arah laut) makin rendah. Buktinya dalam air kali Ciliwung mengalir ke laut (ke bawah). Harusnya wilayah Tanjung Priok yang berbatasan pantai yang terendam paling parah.
More…Kenyataannya justru banjir di Tanjung Priok hanya 30-60 cm. Sementara di Jatinegara yang permukaan tanahnya lebih tinggi dari Tanjung Priok banjir justru mencapai 300 cm.
Banjir di wilayah Jatinegara dan Cawang terjadi karena pintu air Manggarai yang mengalir ke jalan Sudirman dan Istana ditutup sehingga jadi semacam bendungan. Air yang tertahan bendungan inilah yang membanjiri Jatinegara dan Cawang.
Karena itu begitu pintu air dibuka dan jalan Sudirman dan Istana terendam air, dalam 1 hari banjir di Jatinegara dan Cawang surut. Padahal jika tidak dibuka banjir tetap bertahan hingga 2 minggu. Bukti lain, pada Banjir November 2007 di Kampung Melayu, ternyata ketika saya melewati jembatan yang melintasi kali Ciliwung di Jalan Pangeran Diponegoro airnya dangkal sehingga sebagian dasarnya menyembul terlihat. Ini bukti bahwa air tertahan (entah sengaja/tidak) di Pintu Air Manggarai.
Oleh karena itu guna mencegah banjir, khususnya dari luberan kali Ciliwung di daerah Kalibata, Cawang, dan Kampung Melayu hendaknya pemerintah memperhatikan pengaturan pintu air di Manggarai. Usahakan agar air banjir mengalir terus ke laut. Tidak ditahan oleh petugas pintu air di situ.
Usaha lain adalah dengan memperdalam kali Ciliwung dengan memakai kapal keruk mulai dari muaranya di Jakarta Utara untuk secara perlahan masuk ke wilayah hulu. Dengan cara ini maka daya tampung kali Ciliwung bisa bertambah dan luas luberan/banjir bisa dikurangi.
Cara ini jauh lebih murah ketimbang Mega Proyek Banjir Kanal Timur dan Barat yang bisa menelan biaya belasan trilyun rupiah. Selain itu dengan kali Ciliwung yang lebih lebar dan lebih dalam (lebar 23 meter dan dalam 7 meter) maka Kali Ciliwung bisa jadi “jalan baru” bagi transportasi warga Jakarta. Ini bisa mengurangi kemacetan di Jakarta tanpa harus mengeluarkan uang trilyunan lagi untuk proyek Monorail.
Kedepan juga perlu diperhatikan untuk memperluas daerah resapan air. Bukan hanya membuat sumur resapan atau mengganti halaman semen dengan paving block, tapi juga mempertimbangkan penggunaan rumah panggung di wilayah ibu kota. Ketika kecil di Kalimantan Selatan, saya biasa tinggal di rumah panggung. Di bawah rumah ada lumpur. Jika kita lempar pancing ke bawah rumah, kita bisa mendapat ikan. Rumah panggung seperti ini bisa memperluas daerah resapan air. Saya lihat di wilayah Jakarta Selatan ada juga rumah besar yang memakai sistem rumah panggung di mana ikan-ikan bisa hidup di bawahnya.
Ada yang mengusulkan agar Pemda DKI mengambil-alih situ/danau yang tersisa seperti yang ada di daerah Cibubur dan sekitarnya sehingga bisa diperdalam dan diperluas. Danau ini bisa jadi tempat peternakan ikan, pemancingan, wisata perahu dayung dan memancing, serta restoran ikan dengan sistem rumah panggung.
Ada bagusnya jika di beberapa tempat seperti Depok atau daerah langganan banjir yang terparah seperti Kampung Pulo dibuat bendungan yang besar untuk menampung air sekaligus pembangkit tenaga listrik sehingga bukan hanya mencegah banjir, tapi juga memberi energi listrik bertenaga air. Tentu pemerintah harus menyediakan rumah susun (misalnya Rusun Cawang) dan GANTI UNTUNG yang layak bagi penduduk yang digusur.
sumber : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar